Latar Belakang
Kerajaan Sunda merupakan kerajaan yang terletak di Jawa Barat. Tidak bisa dipastikan dimana pusat kerajaan ini sesungguhnya. Berdasarkan sumber sejarah berupa prasasti dan naskah-naskah berbahasa Sunda Kuno dikatakan bahwa pusat kerajaan Sunda telah mengalami beberapa perpindahan. Menurut Kitab Carita Parahyangan, Ibukota kerajaan Sunda mula-mula di Galuh, kemudian menurut Prasasti Sanghyang Tapak yang ditemukan di tepi sungai Cicatih, Cibadak Sukabumi, Isi dari prasasti itu tentang pembuatan daerah terlarang di sungai itu yang ditandai dengan batu besar di bagian hulu dan hilirnya. Oleh Raja Sri Jayabhupati penguasa kerajaan Sunda. Di daerah larangan itu orang tidak boleh menangkap ikan dan hewan yang hidup di sungai itu. tujuannya mungkin untuk menjaga kelestarian lingkungan (agar ikan dan lain-lainnya tidak punah) siapa yang berani melanggar larangan itu, ia akan dikutuk oleh dewa-dewa.
2. 
Adapun rumusan masalah yang akan di bahas dalam makaah ini adalah :
1.      Berdirinya Kerajaan Sunda
2.      Letak Kerajaan Sunda
3.      Catatan-catatan Sejarah Kerajaan Sunda
4.      Struktur kerajaan dan Birokrasi
5.      Raja-raja yang Pernah Memerintah Kerajaan Sunda
1.      Berdiriya kerajaan Sunda
Menurut Naskah Wangsakerta dari Cirebon, sebelum berdiri sebagai kerajaan yang mandiri, Sunda merupakan bawahan Tarumanagara. Raja Tarumanagara yang terakhir, Sri Maharaja Linggawarman Atmahariwangsa Panunggalan Tirthabumi (memerintah hanya selama tiga tahun, 666-669 M), menikah dengan Déwi Ganggasari dari Indraprahasta. Dari Ganggasari, beliau memiliki dua anak, yang keduanya perempuan. Déwi Manasih, putri sulungnya, menikah dengan Tarusbawa dari Sunda, sedangkan yang kedua, Sobakancana, menikah dengan Dapuntahyang Sri Janayasa, yang selanjutnya mendirikan kerajaan Sriwijaya. Setelah Linggawarman meninggal, kekuasaan Tarumanagara turun kepada menantunya, Tarusbawa. Hal ini menyebabkan penguasa Galuh, Wretikandayun (612-702) memberontak. Wretikandayun menuntut kepada Tarusbawa supaya bekas kawasan Tarumanagara dipecah dua. Dalam posisi lemah dan ingin menghindarkan perang saudara, Tarusbawa menerima tuntutan Galuh. Dalam tahun 670 M Kawasan Tarumanagara dipecah menjadi dua kerajaan, yaitu Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh dengan Sungai Citarum sebagai batas.
2.      Lokasi ibukota Sunda
Maharaja Tarusbawa kemudian mendirikan ibukota kerajaan yang baru, seperti yang sudah diungkapkan dibagian sebelumnya, di daerah pedalaman dekat hulu Sungai Cipakancilan. Dalam Carita Parahiyangan, tokoh Tarusbawa ini hanya disebut dengan gelarnya: Tohaan di Sunda (Raja Sunda). Ia menjadi cakal-bakal raja-raja Sunda dan memerintah sampai tahun 723 M.
Sunda sebagai nama kerajaan tercatat dalam dua buah prasasti batu yang ditemukan di Bogor dan Sukabumi. Kehadiran Prasasti Jayabupati di daerah Cibadak sempat membangkitkan dugaan bahwa Ibukota Kerajaan Sunda terletak di daerah itu. Namun dugaan itu tidak didukung oleh bukti-bukti sejarah lainnya. Isi prasasti hanya menyebutkan larangan menangkap ikan pada bagian Sungai Cicatih yang termasuk kawasan Kabuyutan Sanghiyang Tapak. Sama halnya dengan kehadiran batu bertulis Purnawarman di Pasir Muara dan Pasir Koleangkak yang tidak menunjukkan letak ibukota Tarumanagara.
3.      Catatan Sejarah Kerajaan Sunda
a.      Sumber Dari Dalam
Rujukan awal nama Sunda sebagai sebuah kerajaan tertulis dalam Prasasti Kebon Kopi II tahun 458 Saka (536 Masehi).[1] Prasasti itu ditulis dalam aksara Kawi, namun, bahasa yang digunakan adalah bahasa Melayu Kuno. Prasasti ini terjemahannya sebagai berikut:
Batu peringatan ini adalah ucapan Rakryan Juru Pangambat, pada tahun 458 Saka, bahwa tatanan pemerintah dikembalikan kepada kekuasaan raja Sunda.
Beberapa orang berpendapat bahwa tahun prasasti tersebut harus dibaca sebagai 854 Saka (932 Masehi) karena tidak mungkin Kerajaan Sunda telah ada pada tahun 536 AD, di era Kerajaan Tarumanagara (358-669 AD ).
Rujukan lainnya kerajaan Sunda adalah Prasasti Sanghyang Tapak yang terdiri dari 40 baris yang ditulis pada 4 buah batu. Empat batu ini ditemukan di tepi sungai Cicatih di Cibadak, Sukabumi. Prasasti-prasasti tersebut ditulis dalam bahasa Kawi. Sekarang keempat prasasti tersebut disimpan di Museum Nasional Jakarta, dengan kode D 73 (Cicatih), D 96, D 97 dan D 98. Isi prasasti (menurut Pleyte):
Perdamaian dan kesejahteraan. Pada tahun Saka 952 (1030 M), bulan Kartika pada hari 12 pada bagian terang, hari Hariang, Kaliwon, hari pertama, wuku Tambir. Hari ini adalah hari ketika raja Sunda Maharaja Sri Jayabupati Jayamanahen Wisnumurti Samarawijaya Sakalabuwanamandaleswaranindita Haro Gowardhana Wikramattunggadewa, membuat tanda pada bagian timur Sanghiyang Tapak ini. Dibuat oleh Sri Jayabupati Raja Sunda. Dan tidak ada seorang pun yang diperbolehkan untuk melanggar aturan ini. Dalam bagian sungai dilarang menangkap ikan, di daerah suci Sanghyang Tapak dekat sumber sungai. Sampai perbatasan Sanghyang Tapak ditandai oleh dua pohon besar. Jadi tulisan ini dibuat, ditegakkan dengan sumpah. Siapa pun yang melanggar aturan ini akan dihukum oleh makhluk halus, mati dengan cara mengerikan seperti otaknya disedot, darahnya diminum, usus dihancurkan, dan dada dibelah dua.
Tanggal prasasti Jayabupati diperkirakan 11 Oktober 1030. Menurut Pustaka Nusantara, Parwa III sarga 1, Sri Jayabupati memerintah selama 12 tahun (952-964) saka (1030 - 1042AD).
 
 Raja-raja Kerajaan Sunda
Di bawah ini deretan raja-raja yang pernah memimpin Kerajaan Sunda menurut naskah Pangéran Wangsakerta (waktu berkuasa dalam tahun Masehi):
1.      Tarusbawa (menantu Linggawarman, 669 - 723)
2.      Harisdarma, atawa Sanjaya (menantu Tarusbawa, 723 - 732)
3.      Tamperan Barmawijaya (732 - 739)
4.      Rakeyan Banga (739 - 766)
5.      Rakeyan Medang Prabu Hulukujang (766 - 783)
6.      Prabu Gilingwesi (menantu Rakeyan Medang Prabu Hulukujang, 783 - 795)
7.      Pucukbumi Darmeswara (menantu Prabu Gilingwesi, 795 - 819)
8.      Rakeyan Wuwus Prabu Gajah Kulon (819 - 891)
9.      Prabu Darmaraksa (adik ipar Rakeyan Wuwus, 891 - 895)
10.  Windusakti Prabu Déwageng (895 - 913)
11.  Rakeyan Kamuning Gading Prabu Pucukwesi (913 - 916)
12.  Rakeyan Jayagiri (menantu Rakeyan Kamuning Gading, 916 - 942)
13.  Atmayadarma Hariwangsa (942 - 954)
14.  Limbur Kancana (putera Rakeyan Kamuning Gading, 954 - 964)
15.  Munding Ganawirya (964 - 973)
16.  Rakeyan Wulung Gadung (973 - 989)
17.  Brajawisésa (989 - 1012)
18.  Déwa Sanghyang (1012 - 1019)
19.  Sanghyang Ageng (1019 - 1030)
20.  Sri Jayabupati (Detya Maharaja, 1030 - 1042)
21.  Darmaraja (Sang Mokténg Winduraja, 1042 - 1065)
22.  Langlangbumi (Sang Mokténg Kerta, 1065 - 1155)
23.  Rakeyan Jayagiri Prabu Ménakluhur (1155 - 1157)
24.  Darmakusuma (Sang Mokténg Winduraja, 1157 - 1175)
25.  Darmasiksa Prabu Sanghyang Wisnu (1175 - 1297)
26.  Ragasuci (Sang Mokténg Taman, 1297 - 1303)
27.  Citraganda (Sang Mokténg Tanjung, 1303 - 1311)
28.  Prabu Linggadéwata (1311-1333)
29.  Prabu Ajiguna Linggawisésa (1333-1340)
30.  Prabu Ragamulya Luhurprabawa (1340-1350)
31.  Prabu Maharaja Linggabuanawisésa (yang gugur dalam Perang Bubat, 1350-1357)
32.  Prabu Bunisora (1357-1371)
33.  Prabu Niskalawastukancana (1371-1475)
34.  Prabu Susuktunggal (1475-1482)
35.  Jayadéwata (Sri Baduga Maharaja, 1482-1521)
36.  Prabu Surawisésa (1521-1535)
37.  Prabu Déwatabuanawisésa (1535-1543)
38.  Prabu Sakti (1543-1551)
39.  Prabu Nilakéndra (1551-1567)
40.  Prabu Ragamulya atau Prabu Suryakancana (1567-1579)
Kerajaan Sunda merupakan kerajaan pecahan dari kerajaan tarumanegara. Kerajaan Sunda beribu kota di Parahyangan Sunda. Sementara itu menurut prasasti Astana Gede (Kawali – Ciamis) ibu kota kerajaan Sunda berada di Pakwan Pajajaran. Mengenai perpindahan kerajaan ini tak diketahui alasannya. Akan tetapi, hal-hal yang bersifat ekonomi, keamanan, politik, atau bencana alam lazim menjadi alasan perpindahan pusat ibu kota suatu kerajaan.
Kerajaan Sunda menguasai daerah Jawa Barat untuk waktu yang lama, diantara rajanya, yang terkenal adalah Jaya Bhupati dan Sri Baduga Maharaja.